Pengalaman Pribadi Fikri Perjalanan Hidup yang Tak Kenal Menyerah dan Selalu bangkit dari kegagalan

Pengalaman Pribadi Fikri Halo, namaku Moch Fikri Romadoni, Saya lahir pada 10 Oktober 2006, dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara yang terdiri dari empat kakak laki-laki dan satu kakak perempuan.

Sejak kecil, saya tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sederhana namun cukup secara ekonomi. Ayahku menjadi tulang punggung keluarga, sementara ibuku bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Malaysia. Mengurus ibu ke luar negeri bukanlah hal yang mudah, tapi itu mengajarkanku arti kerja keras sejak dini.

Meski kehadiran ibu tak selalu ada di rumah, kasih sayang dan doanya selalu menemaniku, terutama saat aku menghadapi masa-masa sulit di sekolah, pesantren, hingga ujian hidup yang sesungguhnya.

Inilah Kisah Ku: Perjalanan Hidup Moch Fikri Romadoni dari Pesantren hingga Mimpi yang Tak Pernah Padam, bukan sekedar catatan masa lalu, tapi jejak perjalanan seorang remaja biasa yang terus berusaha menjadi luar biasa.

Dari pengalaman ini, pembaca bisa belajar bahwa setiap tantangan membentuk karakter kita, dan ketahanan menjadi kunci utama untuk maju. Selain itu, cerita ini mengingatkan kita pada nilai keluarga yang tetap kuat meski jarak memisahkan.

Siapa Aku? Anak Kelima dan Pengalaman Pribadi Fikri yang Penuh Pelajaran

menemukan diri sendiri itu bukan pencarian, tapi pengakuan.

Perjalanan Hidup Moch Fikri Romadoni dari Pesantren hingga Mimpi yang Tak Pernah Padam, saya ingin berbagi bagaimana latar belakang keluarga sederhana ini membentuk pandanganku terhadap kehidupan.

Ayah yang gigih bekerja dan ibu yang rela jauh dari rumah demi masa depan kami, membuatku menyadari bahwa pengorbanan adalah bagian dari cinta.

Dari situ, aku belajar mandiri lebih awal, mengelola emosi saat merindukan ibu, dan menghargai setiap momen bersama keluarga. Pengalaman ini bukan hanya tentang kesedihan, tapi juga tentang kekuatan doa yang selalu menyatukan kami, bahkan ketika ibu berada di Malaysia.

Masa SD

Kelas satu SD

Saat berusia 7 tahun, aku mulai duduk di bangku Sekolah Dasar, tepatnya di SDN Kaliasin 5 Surabaya. Awalnya, aku sangat bersemangat. Bayanganku tentang sekolah adalah tempat penuh tawa, persahabatan, dan ilmu baru. Tapi kenyataannya jauh berbeda.

Saya kesulitan memahami beberapa mata pelajaran, dan sering bertanya kepada teman sekelas. Sayangnya, bukannya membantu, mereka justru merasa kesal. Lambat laun, aku mulai dikucilkan. Muncul keyakinan dalam pikiranku: “Ternyata sekolah itu kejam kalau tidak pintar, pasti dijauhi.”

Dari situ, aku mulai menjauh dari teman-teman sebaya dan mencari pengungsi dengan teman bersama kakak kelas. Mereka terlihat ramah, suka bercanda, dan menurutku mereka tidak memilih-milih teman. Namun, ternyata aku salah besar.

Kakak-kelas itu justru menjerumuskanku ke dalam lingkaran pertemanan yang tidak sehat. Mereka sering memalak uang adik kelas, menyuruh kami berkelahi satu sama lain, bahkan memaksa saya bertengkar dengan teman sendiri sebagai “persyaratan” agar dianggap sebagai bagian dari kelompok mereka. Aku merasa terjebak, tapi tak berani melawan.

Untungnya, satu demi satu dari mereka akhirnya lulus. Dan aku? Aku merasa lega. Bebas dari jebakan pertemanan yang justru merusak mental dan harga diriku. Pengalaman itu mengajarkanku satu hal penting: tidak semua yang terlihat menyenangkan itu baik untukmu.

Mondok di Pesantren Sebuah Pengalaman Pribadi Fikri

Pengalaman Pribadi Fikri
Pengalaman Pribadi Fikri

Memasuki usia 13 tahun, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sekaligus mondok di Pesantren Tahfidz. Keputusan ini murni datang dari hati nuraniku. Saya ingin lebih dari sekadar ilmu akademik—saya ingin mendalami agama, menghafal Al-Qur’an, dan membangun karakter yang kuat.

Hari pertama di pesantren, perasaanku campur aduk antara senang dan sedih, senang karena menemukan tempat yang kondusif untuk belajar,sedih karena harus berpisah dengan keluarga.

Namun, lambat laun aku mulai menikmati rutinitas harian seperti sholat tahajud, menghafal Al-Qur’an, ngaji kitab, dan berbagai kegiatan spiritual lainnya.

Tapi manusia tetaplah manusia. Seiring berjalannya waktu, kejenuhan mulai menyergap, aktivitas yang padat membuat mencari pengungsi, dan sialnya, aku memilih jalan yang salah. Aku mulai sering keluar malam, main PS, ke warnet, dan nongkrong di warung. Awalnya aman-aman saja. Tapi setelah 3–4 bulan, takdir berkata lain.

Suatu malam, sekitar pukul 00.30, saya dan empat teman melewati gang biasa yang kami anggap “aman”. Tiba-tiba, di tengah jalan, kami melihat sosok menyeramkan, wanita tua berambut panjang, mengenakan kain putih, wajah hitam dan samar. Kami langsung lari terbirit-birit dan berteriak ketakutan.

Sayangnya, suara ribut itu menarik perhatian ustadz yang sedang patroli. Kami pun ketahuan dan dibawa ke ruang kepala pesantren.

Hukuman yang Mengubah Hidupku Bagian dari Pengalaman Pribadi Fikri

Pengalaman Pribadi Fikri
Pengalaman Pribadi Fikri

Di ruangan itu, sang kepala pesantren sudah menyiapkan dua batang bambu tipis. Satu per satu, kami dipukul di paha. Plas… plas… plas…! Suaranya keras, sakitnya menusuk. Bekasnya memerah, lalu berubah menjadi ungu kebiruan. Bahkan beberapa dari kami mengalami kesulitan berjalan akibat pukulan tersebut.

Tapi hukuman fisik bukan satu-satunya. Kami juga dijemur di bawah terik matahari sambil membaca istighfar sebanyak 1.000 kali.

Alih-alih marah atau dendam, aku justru merasa lega. Kenapa? Karena hukuman itu membuatku bertanggung jawab atas perbuatanku sendiri. Aku tak lagi menghindar dan aku belajar menerima konsekuensi.

Di pesantren, aku belajar banyak hal yakni kedisiplinan, manajemen waktu, manajemen keuangan, dan tentu saja, membaca serta menghafal Al-Qur’an. Yang paling berharga? Aku sadar bahwa pengungsi semu hanya akan menghancurkan niat awalku.

Sejak hari itu, saya kembali fokus. Aku tekun belajar, rajin muraja’ah, dan menjaga komitmenku sebagai santri.

Hari Wisudah yang Penuh Kenangan dalam Pengalaman Pribadi Fikri

Tiga tahun berlalu. Tiba saatnya bilaksana. Sehari sebelum acara, aku dan teman-teman memutuskan “jalan-jalan terakhir” keluar pesantren dari jam 9 pagi hingga jam 8 malam.

Kami pikir itu wajar. Toh, besok kami sudah lulus.

Tapi ternyata, pengurus pesantren marah besar. Meski besok wisuda, aturan tetap aturan. Hukumannya? Rambut kami diukur habis dan botak total.

Awalnya, aku kesal. Tapi lama-lama, aku tersenyum. Ini jadi kenangan terakhir yang tak terlupakan. Di hari wisuda, kami tampil dengan kepala plontos, tapi hati penuh terima kasih.

Dan kejutan datang saat namaku disebut sebagai peringkat ketiga terbaik dalam hafalan Al-Qur’an seangkatan! Saya menerima sertifikat dan uang pelatihan sebesar Rp500.000. Aku tidak menyangka. Tapi aku tahu: ini buah dari kesabaran, doa, dan kerja keras yang tak pernah kuceritakan pada siapa pun.

Culture Shock dan Sebuah visi

Pengalaman Pribadi Fikri
Pengalaman Pribadi Fikri

Setelah lulus pesantren, saya melanjutkan ke SMA Insan Cendekia Mandiri Boarding School (ICMBS). Di sini, saya mengalami culture shock berat dengan cara belajar, gaya bicara, bahkan candaan teman-teman terasa asing. Aku merasa seperti orang asing di tengah keramaian.

Tapi aku tak menyerah. Aku punya satu tujuan yakni masuk UNESA (Universitas Negeri Surabaya). Demi itu, aku bertahan. Aku belajar keras, ikut kegiatan asrama, dan terus memperbaiki diri.

Dua tahun berlalu. Sekolah mengadakan tasmi’ Al-Qur’an, acara uji hafalan terbuka. Minimal peserta harus membaca 10 juz. Awalnya, aku ragu. Jadwalku padat, dan hafalanku belum lancar.

Tapi sepupuku yang mendaftar tasmi’ 20 juz memberiku nasihat yang menggugah: “Ini kesempatan emas. Kapan lagi ada acara seperti ini? Sayang kalau hafalan banyak tapi tak pernah disimak.”

Kalimat itu membakar semangatku. Aku mendaftar untuk tasmi’ 10 juz, dan mulai mencuri waktu setiap hari untuk muraja’ah di sela sholat, sebelum tidur, bahkan saat istirahat makan.

Hari Tasmi’

Tiba hari H. Aku maju ke panggung dengan percaya diri. Duduk rapi, tarik napas, lalu mulai membaca Al-Qur’an bil ghaib. Alhamdulillah, aku lulus tasmi’.

Keesokan harinya, acara penyambutan digelar meriah. Para wali murid hadir. Saat namaku dipanggil, aku naik ke panggung dengan perasaan campur aduk: senang, bangga, dan sedikit terharu. Aku tak menyangka bisa sampai sejauh ini.

UTBK dan Ujian Terberat dalam Hidupku

Di kelas 12 semester dua, saya menulis dua visi di buku catatanku: Lulus di UNESA dan Membuka usaha sendiri.

Aku belajar giat, ikut bimbel, try out, dan tak lupa sholat malam serta berdoa setiap hari. Selama empat bulan, saya mempersiapkan diri untuk ujian UTBK penentu masa depan.

Tapi tiga hari sebelum ujian, aku jatuh sakit. Mual, batuk, pilek, dan hidung terus mengeluarkan darah. Tubuhku lemas, hampir tak bisa berdiri.

Yang berpikir hanya satu: “Bagaimana kalau aku gagal karena tidak fokus?”

Hari ujian tiba. Dalam kondisi lemah, aku masuk ruangan. Kepala pening, badan gemetar. Tapi aku terus berdoa. Saat mengerjakan soal, tiba-tiba darah mengalir dari hidungku. Aku tidak peduli. Aku terus fokus hingga waktu habis.

Beberapa bulan kemudian, pengumuman keluar. Saya dinyatakan tidak lulus.

Awalnya, aku hancur. Sedih. Stres. Tapi hidup tak berhenti di sini.

Beasiswa Bisnis Digital di MEC Menjadi Babak Baru dalam Pengalaman Pribadi Fikri

Pengalaman Pribadi Fikri
Pengalaman Pribadi Fikri

 

Beberapa minggu setelah mengecewakannya, saya menemukan info tentang beasiswa kuliah gratis selama satu tahun. Awalnya ragu, tapi ketika melihat daftar prodi, mataku tertuju pada satu: Digital Business.

Saya mendaftar. Dan alhamdulillah, saya diterima di MEC.

Ini bukan akhir dari mimpi UNESA,tapi awal dari jalan baru. Aku percaya, setiap kegagalan adalah menuju pintu takdir yang lebih baik.

Apa yang Telah Mengubah Hidupku?

Pengalaman Pribadi Fikri di mec
Pengalaman Pribadi Fikri di surabaya

Perjalanan Hidup Moch Fikri Romadoni dari Pesantren hingga Mimpi yang Tak Pernah Padam bukan tentang keberhasilan instan, tapi tentang ketahanan. Aku pernah dikucilkan, ditipu teman, dihukum keras, sakit saat ujian, dan gagal masuk kampus impian.

Tapi di setiap titik itu, aku belajar sesuatu, kesabaran saat dihina karena tidak pintar, Kewaspadaan saat memilih teman, Tanggung jawab saat melewati aturan, Komitmen saat menghafal Al-Qur’an, Keteguhan saat sakit tapi tetap ujian, Keterbukaan saat menerima jalan baru.

Aku mungkin bukan siswa yang terpintar, tapi aku siswa yang tak pernah berhenti belajar dari kesalahan, dari kegagalan, dan dari setiap kehidupan napas.

Dan hari ini, aku terus melangkah. Dengan mimpi membuka usaha, belajar bisnis digital, dan suatu hari nanti—membanggakan keluargaku.

Perjalanan Hidup Moch Fikri Romadoni dari Pesantren hingga Mimpi yang Tak Pernah Padam. Dari daftar pelajaran itu, saya ingin menekankan bahwa ketahanan bukan bakat bawaan, tapi hasil dari pengalaman harian.

Selain itu, mimpi membuka usaha dan mengecewakan ibu menjadi pengingat akan tujuan jangka panjang, yang bisa memotivasi siapa saja untuk terus maju meski ada rintangan.

Untukmu yang Sedang Berjuang

Jika kamu sedang merasa lelah, gagal, atau dikucilkan,ingatlah kisah hidupmu belum selesai. Setiap bab yang pahit hari ini bisa jadi fondasi kemenangan besok. Karena pada akhirnya, bukan seberapa sempurna perjalananmu, tapi seberapa gigih kamu melanjutkannya.

Leave a Comment