Pengalaman Pribadi Rizqi Yusron – Sebelum MEC: Hidup dalam Bayangan Dosa dan Penyesalan Halo, teman-teman! Pernahkah kalian bertemu seseorang yang begitu baik, penuh empati, dan selalu membawa energi positif? Mungkin kalian langsung menganggap bahwa orang itu memang lahir dengan sifat mulia sejak kecil.
Tapi tahukah kalian? Tidak semua orang baik itu selalu baik sejak awal.
Banyak di antara mereka justru pernah hidup dalam kegelapan, dan justru dari sanalah cahaya itu lahir.
Nah, inilah kisah saya, Rizqi Yusron, seorang pemuda biasa yang dulu jauh dari kata “baik”, tapi kini sedang berjuang menjadi versi terbaik dari dirinya, dan semua itu berawal dari satu hal, yaitu perubahan.
Sebelum saya masuk ke Mandiri Entrepreneur Center (MEC), hidup saya benar-benar kacau.
Bukan hanya sekadar “nakal biasa”, tapi sampai pada titik di mana saya merasa tak layak lagi dipandang oleh masyarakat.
Saya bahkan pernah kehilangan sahabat terdekat karena kelalaian saya sendiri, sebuah luka yang sampai hari ini masih saya bawa sebagai pelajaran hidup.
Jadi, apa hubungannya dengan MEC? Sederhana, MEC adalah titik balik hidup saya, bukan berarti saya sekarang sempurna atau merasa paling suci, sama sekali tidak, tapi saya bangga, bangga karena saya berhasil berubah, jauh lebih baik dari diri saya tujuh tahun lalu saat masih tinggal di pondok pesantren.
Apa Itu MEC?

Apa Itu MEC? Tempat di Mana Perubahan Dimulai Sebelum lanjut ke kisah lengkap saya, izinkan saya menjelaskan sedikit tentang MEC, karena mungkin ini juga bisa jadi inspirasi buat kalian yang sedang mencari jalan pulang ke diri sendiri.
MEC (Mandiri Entrepreneur Center) adalah lembaga pendidikan non-formal yang fokus pada pembentukan karakter, kemandirian, dan jiwa wirausaha.
Sistem pembelajarannya unik: 30% teori, 70% praktik, Artinya, kamu nggak cuma diajari lewat buku, tapi langsung dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Yang paling menarik? Di MEC, disiplin itu nomor satu.
Mulai dari bangun pagi, shalat berjamaah, hafalan Al-Qur’an, hingga pelatihan jualan door-to-door, semuanya terstruktur rapi dalam time table harian. Dan yang paling mengharukan, semua ini gratis.
Ya, benar-benar gratis tiss! Bayangkan, di zaman sekarang, ada tempat yang mau membentukmu jadi pribadi mandiri, religius, dan berjiwa entrepreneur, tanpa biaya sepeser pun.
Masa Lalu Yang Kelam

Ketika Perubahan Belum Datang Perubahan Kecil Dimulai dari Rasa Bersalah yang Mendalam Sebelum saya masuk pondok pesantren, kondisi saya jauh lebih rusak.
Faktor lingkungan memang sangat berpengaruh di desa saya, hampir 98% anak muda terjerumus dalam pergaulan bebas, merokok, mabuk-mabukan, bolos shalat, bahkan tidak puasa di bulan Ramadhan. Saya? Termasuk salah satunya.
Saya pernah jadi anak punk, kemana-mana jalan kaki bareng geng, hidup dari hasil ngamen di pinggir jalan.
Gaya hidup itu terasa “keren” saat itu, tapi sekarang saya sadar, itu adalah bentuk pelarian dari rasa hampa yang tak saya mengerti.
Kehilangan Sahabat Terbaik

Namun, titik terendah hidup saya bukan karena itu. Melainkan saat saya kehilangan sahabat terbaik saya di tepi dermaga laut.
Saat itu, kami hanya berdua. Awalnya hanya ingin main layang-layang, tapi tiba-tiba dia nekat berenang, padahal kami sama sekali belum bisa berenang.
Belum sempat saya menariknya, dia sudah tenggelam. Air laut yang dalam menelannya begitu cepat. Saya panik, berteriak sekuat tenaga, tapi tak ada yang datang.
Akhirnya, saya lari pulang dan menangis di pangkuan kakak saya. Sejak hari itu, rasa bersalah menghantui saya setiap malam. Saya merasa berdosa luar biasa. Kata maaf kepada keluarga almarhum pun tak mampu mengembalikan nyawanya.
Dari situlah saya mulai berpikir “Sudah terlalu jauh aku melangkah, sudah terlalu banyak dosa yang kuperbuat.”
Dan akhirnya, dengan restu saudara serta wasiat almarhumah ibu, saya memutuskan untuk masuk pondok pesantren, berharap bisa memperbaiki diri, meski tak tahu pasti apakah perubahan itu benar-benar akan datang.
Jatuh Bangun Dalam Proses Perbaikan Diri

Tidak Ada Jalan Lurus Menuju Perubahan Tahun 2018, saya resmi menjadi santri, meninggalkan rumah, kenangan, dan kebiasaan lama.
Di pondok, hidup saya berubah drastis, tertawa dan menangis jadi rutinitas, bahkan pukulan dan cacian jadi “makanan” sehari-hari. Tapi saya memilih untuk tidak mengeluh. Saya percaya, ini adalah cara Allah mendidik saya.
Namun, ternyata perjalanan memperbaiki diri tidak semudah yang dibayangkan. Di pondok, saya justru jadi korban bullying.
Setiap langkah salah, setiap ucapan salah, semua dihujani makian. Maju salah, mundur pun salah. Tapi di balik itu, saya bersyukur. Kenapa? Karena lingkungan di sana jauh lebih baik daripada di rumah.
Ada nilai-nilai agama, ada teman yang saling mengingatkan, ada suasana yang mendorong saya untuk terus bangkit.
Bukti Perubahan Itu Ada

Saya mulai mencari pertemanan yang sehat. Saya ikut berbagai lomba, meski berkali-kali gagal. Salah satunya adalah lomba fighter,sebuah ajang bela diri yang saya ikuti hanya untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa “Aku bisa.”
Dan akhirnya, di tahun 2023, dalam Championship Nasional di kampus Unair, saya berhasil meraih juara 3 kelas E remaja putra. Bagi orang lain, mungkin ini biasa. Tapi bagi saya, ini adalah bukti nyata bahwa perubahan itu ada.
Perlahan, tekanan itu mulai hilang. Di awal 2024, saya sudah diterima sepenuhnya oleh teman-teman. Tak ada lagi saling menjatuhkan.
Kami hidup berdampingan dengan damai, sebuah pencapaian yang tak ternilai harganya.
Hilangnya Jati Diri

Ketika Perubahan Terasa Rapuh Ketika Lingkungan Lama Kembali Menggoda Namun, hidup memang tak pernah lurus-lurus saja.
Di akhir 2024, setelah 6 tahun menjadi santri, saya memutuskan untuk “mengabdi” di pondok. Sayangnya, di sinilah godaan kembali datang.
Perlahan, kebiasaan buruk masa lalu kembali muncul. Saya mulai kehilangan arah. Pagi jadi malam, malam jadi pagi, seperti kelelawar yang hidup terbalik.
Saya malu disebut ustadz, tapi masih terjerumus dalam maksiat. Teman-teman sibuk mempersiapkan KIP dan SNBT, sementara saya terjebak dalam kebingungan. “Mau dibawa ke mana hidup ini?”
Saat itulah, seseorang menawarkan saya untuk masuk kampus D1 berbasis LKP (Lembaga Kursus & Pelatihan).
Awalnya saya ragu. Tapi kemudian, saya merasakan getaran dalam hati: “Ini mungkin jalanku kembali ke Allah.”
Dan dari sanalah, saya memutuskan untuk pergi sejauh-jauhnya, tanpa memberi tahu siapa pun, bahkan kakak kandung saya sendiri.
Perubahan Terbentuk di MEC

Titik Balik yang Sesungguhnya Hijrah yang Sesungguhnya Dimulai di Surabaya Tahun 2025, saya memulai hidup baru di MEC Surabaya. Ini adalah kali kedua saya urbanisasi dari desa ke kota kecil, lalu ke Surabaya.
Dan suatu hari nanti, saya bermimpi bisa emigrasi ke Jepang. Mengapa tidak? Jika Allah berkehendak, segalanya pasti terjadi.
Saya berangkat bersama teman yang kebetulan juga kuliah di UIN Surabaya, naik transportasi umum, karena MEC memang melatih kemandirian sejak awal.
Sampai di sana, saya langsung disambut oleh suasana yang sangat berbeda, tenang, adil, penuh semangat, dan religius.
Di MEC, saya belajar memadukan teknologi dan spiritualitas. Setiap pagi diawali dengan hafalan Qur’an dan doa.
Setiap malam, shalat tahajud tak pernah absen. Puasa sunnah jadi program wajib. Dan di siang hari, saya bergulat dengan komputer, belajar desain, marketing, bahkan public speaking.
Perlahan, pondasi iman yang dulu runtuh mulai saya bangun kembali. Memang, kadang saya masih kelewatan. Tapi saya percaya, ini bagian dari proses. Bukan soal sok suci, tapi soal siapa yang berani berubah lebih baik dari sebelumnya.
Mandiri Entrepreneur Center, Tempat di Mana Saya Menemukan Diri Sendiri Dulu, saya dikenal sebagai anak “kriminal” di desa, dicap buruk, dijauhi, bahkan diremehkan.
Tapi kini, saya sedang dalam perjalanan panjang untuk memperbaiki diri, bukan demi orang lain, tapi demi Allah dan masa depan saya sendiri.
Di MEC, hampir semua hal saya coba. Jika belum bisa, saya tak akan diam. Ada banyak mentor, banyak kesempatan bertanya, dan ruang untuk menggali potensi sampai benar-benar menguasainya.
Saya dilatih jualan door-to-door, untuk merasakan betapa beratnya jadi seorang ayah yang menafkahi keluarga. Saya ikut pelatihan public speaking, kultum singkat, bahkan mengajar mengaji.
Waktu di sini terasa sangat berharga, satu jam terasa seperti sehari, karena setiap detik dipenuhi makna.
Positif Perception

Senjata Rahasia dalam Proses Perubahan Salah satu prinsip hidup yang saya pegang erat adalah Positive Perception, cara pandang positif terhadap segala ujian.
Dulu di pondok, saat saya dipukul atau dimaki, saya sempat ingin membalas. Tapi lama-lama saya sadar, “Mungkin ini ujian agar aku lebih dekat dengan Allah.” Dan dari situlah, saya belajar berdoa bukan hanya saat senang, tapi justru saat terluka.
Perubahan bukan soal seberapa cepat, tapi seberapa konsisten. Dan saya yakin, jika kalian sedang membaca ini, mungkin kalian juga sedang dalam proses yang sama.
Jangan menyerah. Jangan takut jatuh. Karena Allah melihat setiap niat baikmu, bahkan sebelum kau melangkah.
Perubahan Itu Nyata, dan Kamu Bisa Melakukannya. Kisah saya ini hanyalah salah satu contoh pengalaman pribadi tentang perubahan tidak sempurna, penuh kegagalan, tapi jujur dan nyata. Jika saya bisa, kenapa tidak kamu?
Jangan pernah berhenti sampai dunia mengakui keberadaanmu. Jangan takut jatuh, karena dari jatuh itulah kita belajar berdiri. Dan ingat, perubahan terbaik dimulai dari keputusan kecil hari ini.
Tunggu apa lagi? Mulailah perubahanmu, sekarang juga.